KALAU TIDAK DIUANGKAN KURANG NYADAR (COST OF POOR QUALITY)
Di tiap diskusi tentang cost of Poor, saya sering memberikan analogi barang yang tidak dihiraukan padahal ada harganya, ya katakanlah seperti kawat las atau pulpen yang tidak terpakai (atau hal yang kita lihat tidak berharga di tempa kerja) kemungkinan kita akan ambil bila pekerja utama kita beres dulu, karena merepotkan kalau kita berubah jadi petugas kebersihan, nanti kalau sudah selesai tugas-tugas kita maka pasti masih TETAP didiamkan(J), coba barang yang kita cuekan tadi kita langsung ganti dengan uang sejumlah harga barangitu dan ditaruh persis di mana barang itu berada, bagaimana respon kita? Tentu kita akan langsung mengambil uang itu bukan? Kebiasaan membiarkan seperti contoh di atas akan membuat tempat kita jadi tidak nyaman, bahkan di salah satu client kami ada kertas yang sampai bertahun-tahun ada di meja kerja, berdebu. Akan dibereskan bila file harcopy yang diperlukan. Biasanya setelah dirapihkan tetap tidak ketemu, akhirnya marah dan waktu terbuang untuk mencari dan marah-marah.
Contoh lain, Saya contohkan juga dengan keluhan pusing-pusing akibat kebiasaan kita menyantap makanan dengan kalori berlebih, kita akhirnya kelebihan berat badan, malas bergerak, lalu pusing-pusing sedikit didiamkan, akhirnya kita rugi karena tidak kerja hari ini. Setelah pusing hilang karena minum obat mulailah aktifitas seperti biasa, ya masing diulang-ulang kebiasanaan yang buruk. Kedua contoh di atas dulu saya alami, saya punya action setelah ada yang saya nilai rugi. Ketika mengeluarkan uang baru akan sadar, apalagi ketika sakitnya akhir bulan, lalu dokter menyuruh untuk chek laboratorium, lumayan juga biayanya. Pertanyaannya kenapa rugi dulu baru action? Lebih baik mencegah daripada mengobati adalah kalimat yang ketegori jadul, , tetapi kenapa tetap dilangar? Saya waktu dulu mau yang enak-enak saja: kalau perlu tidak ada usaha tetapi dapat sesuatu, mau naruh sembarangan kalau ada yang dicari langsung ketemu, mau badan dengan berat badan ideal tetapi makan sepuasanya dan tidak olahraga. Kata orang barat No Free Lunch. Jadi perlu ada usaha, kalaupun ada kerugian (tidak berhasil) sebaiknya ada yang catat, sudah berapa banyak rugi atau tidak berhasilnya. Pencatatan akan memaksa kita untuk menyadari kerugian tersebut dan tentu akan ada action, karena pada prinsipnya mana ada manusia mau rugi, bukan?
OK sekarang bahas sistem, di sistem diminta pencatatan mengenai target, baik ISO 9001:2015, ISO 14001:2015, IATF 16949, ISO 45001:2018, dan semua sistem manajemen, semuanya minta dicatat apa keberhasilan sistem dan kegagalan sistem kita, itulah target, ada target yang sifatnya belum timbul kerugian , ada yang target sifatnya membatasi besarnya kerugian, misalkan:
- Target Sales, kenapa dipatok dengan angka 17 M, ya kalau kurang dari 17 M atau bahkan kurang dari pengeluaran total sebulan maka perusahaan tidak bisa membiayai operasional
- Target barang rusak, boleh lah ada barang rusak 3%, kalau lewat maka kerugian akan significant mengurangi keuntungan
- Target Jumlah Audit internal 3 kali setahun, kalaupun kurang dari 3 kali memang tidak ada yang rugi secara langsung, tetapi bisa dilihat dari nilai kerugian yang lain, misalkan ada anggapan karyawan bahwa sistem di perusahaan itu tidak serius, bertahan setahun seperti ini maka akan ada kebiasaan buruk sistem dan akhirnya semua ada opini bahwa sistem itu bukan untuk peningkatan kinerja, Cuma untuk persyaratan customer atau kalau ada keperluan tender
- Silahkan ditambahkan oleh rekan-rekan
Nah di sistem automotive pencatatan kerugian diminta dilaukan (IATF 16949), istilahnya Cost of Poor Quality, maksudnya dari kegiatan kita akan ada biaya berlebih di aspek kualitas, ada biaya karena dampak dari Kualitas yang buruk, jadi sudah ada failure terlebih dahulu, baik kegagalan di Internal (Internal Failure Cost) dan kegagalan dari eksternal (External Failure Cost). Berikut beberapa contoh yang bisa memperjelas:
Biaya Kegagalan Internal | Biaya Kegagalan External |
Biaya waste dan pengerjaan repair/rework | Biaya Pengembalian produk |
Over stock | Biaya keluhan dari pelanggan |
Kesalahan Pemesanan | Biaya penarikan produk |
Inefesiensi material | Biaya pengiriman by air / beberapa kali kirim |
Inefesiensi Energi | Biaya permintaan hold pengiriman karena ada suspect barang NG, padahal mobil Container sudah dipesan |
Untuk biaya Waste dan pengerjaan repair/ rework perlu juga dibreakdown berdasarkan jenis biaya-biaya yang dikeluarkan, misalkan ada kasus ditemukan produk A Defect dan perlu dilakukan rework/repair, maka biaya yang akan dikeluarkan:
- Biaya pekerja untuk pekerjaan ulang
- Biaya bahan yang digunakan
- Biaya mesin
- Biaya Barang scrap dari untuk produk
- Biaya material
- Biaya proses ulang, misalkan produk ditemukan NG di proses yang ke-4 dari 7 proses
- Dst disesuaikan dengan kegiatan di perusahaan
Coba hitung biaya apa saja bila ada biaya pengembalian produk? Di beberapa kasus berikut ini:
- Recall mobil HONDA, https://otomotif.kompas.com/read/2018/01/26/191200915/lima-model-honda-indonesia-recall-terkait-komponen-pengereman
- Recall Mobil Daihatsu https://otomotif.kompas.com/read/2015/05/15/0856249/Honda.dan.Daihatsu.Recall.Jutaan.Mobil
- Recall produk kita atau pekerjaan ulang jasa kita, kita siap?
Lalu bagaimana Cost of Poor itu bisa dilakukan disemua semua kegiatan di perusahaan kita? Pahami kegiatan dan target dari kegiatan kita, sejauh mana korelasinya dengan biaya, lalu cari tahu sejauh mana kontribusi kegiatan kita bisa mengurangi beban cost. Jadi berpikirlah ke biaya / nilai dalam kegiatan kita, apakah kegiatan kita sudah memberikan dampak positive yang significant?
Berikut contoh departemen tooling dalam mengontrol target yang sifatnya significant berhubungan dengan biaya, dalam membuat laporan, laporan dikemas sampai keluar data berupa trend bulanan dan tahunan untuk:
- Jumlah kerusakan Tooling
- Persentase Downtime Tooling
- Jumlah Biaya tooling
- Biaya per pcs untuk tool life
(untuk file excel silahkan hubungi email binapuraconsulting @gmail.com)
Untuk monitoring Cost of Poor Quality di IATF 16949 ada di pasal 9.3.2.1 dimana cost of poor quality baik internal dan external itu harus menjadi pembahasan meeting dengan manajemen. Saya yakin biaya terkait mutu (cost of poor quality) itu ada semua di departemen, tetapi sejauh mana kita mengidentifikasikan dalam bentuk laporan dan tindakan? Ingat, bahwa beban biaya ketika semakin besar, maka akan semakin memaksa kita untuk berpikir menganalisa penyebab dan tindakannya, apalagi masalah itu mempengaruhi target departemen atau perusahaan. Pertanyaan nya, sejauh mana target di tempat kita itu berkorelasi dengan nilai/beban biaya? Kalau pun sudah bagaimana memvisualisasikannya, apakah tepat analisanya, lalu sejuah mana efektifitas tindakannya?
Salam
www.improvementqhse.com